Home

Senin, 05 Desember 2011

BAB I, Sejarah Minangkabau (2)

2. Kerajaan Minangkabau Baru

Pusat kerajaan kembali lagi ke Pariangan Padang Panjang disebut awal masa kerajaan Minangkabau Baru. Sejak inilah diciptakan dan dikukuhkan aturan adat Minangkabau yang kita amalkan sampai sekarang. Walaupun telah bergnati musim adat Minangkabau tetap terpakai disebut; Tidak lakang oleh panas, tidak lapuk oleh hujan. Siapapun diantara putra-putri Minangkabau yang dengan sengaja melanggar aturan adat itu, akan tersisih hidupnya dalam keluarga sendiri.
Tahun 1127, Sultan Sri Maharaja Diraja menikah dengan puti Indo Jelita, yakni adik kandung dari Datuk Suru Dirajo. Setelah 14 tahun menikah, ternyata belum juga mendapat keturunan. Maka atas sepakat dewan kerajaan, Sultan Sri Maharaja Diraja menikah lagi dengan Puti Cinto Dunia. Setelah dua tahun menikah dengan Puti Cinto Dunia, tidak ada juga tanda-tanda kehamilan Puti tsb. Maka Sultan menikah lagi dengan Puti Sedayu.
Atas rahmat Tuhan, tahun 1147, lahirlah Sultan Paduko Basa dari permaisuri Puti Indo Jelito, yang kemudian diangkat sebagai Raja Minangkabau, bergelar Datuk Ketemanggungan. Tahun itu juga lahir pula Warmandewa dari Puti Cinto Dunia, yang kemudian bergelar Datuk Bandaharo Kayo. Tahun 1148, lahir lagi Reno Shida dari Puti Sedayu, yang kemudian bergelar Datuk Maharajo Basa. Dengan demikian telah 3 orang putra Raja, masing-masing dari tiga orang ibu.
Tahun 1149, Sultan sri Maharaja Diraja mangkat dan waktu itu anak raja yang tertua masih berusia 2 tahun. Atas sepakat dewan kerajaan, Ibu Suri Puti Indo Jelito, langsung memegang tampuk kerajaan Minangkabau sementara menunggu Sutan Paduko Basa menjadi dewasa. Tugas harian dilaksanakan oleh tiga pendamping raja yakni Datuk Suri Dirajo, Cetri Bilang Pandai dan Tantejo Gurano.
Karena kasih sayang Datuk Suri Puti Indo Jelito menjanda, lalu dinikahkan dengan Cetri Bilang Pandai. Dari perkawinannya itu melahirkan 5 orang anak :
  1. Jatang Sutan Balun bergelar Datuk Perpatih nan Sabatang (lahir 1152)
  2. Kalap Dunia bergelar Datuk Suri Maharajo nan Banego-nego (lahir 1154)
  3. Puti Reno Judah lahir 1157, kemudian dibawa oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang ke Lima Kaum untuk keturunan kemenakannya nan menjadi penghulu
  4. Puti Jamilan lahir 1159, kemudian dibawa Datuk Ketemanggungan ke Sungai Tarab dan ke Bunga Setangkai untuk keturunannya nanti menjadi raja dan penghulu
  5. Mambang Sutan lahir th 1161, setelah berumur 4 th bergelar Datuk Suri Dirajo menggantikan gelar mamaknya (abang dari Puti Indo Jelito)
Mambang Sutan merupakan kemenakan pertama di Minangkabau yang menerima gelar dari mamaknya. Tahun 1165 yakni sewaktu Sutan Paduko Basa telah berumur 18 tahun, beliau diangkat sebagai penghulu bergelar Datuk Ketumanggungan, sekalipun menduduki tahta kerajaan Minangkabau, pengganti raja yang telah 16 tahun mengemban tugas dari ibunya Puti Indo Jelito. Selain itu, semua anak laki-laki Sultan Sri Maharaja Diraja dinobatkan pula menjadi penghulu.
Tahun 1174 kerajaan Minangkabau baru memperluas daerah adatnya ke Sungai Tarab, Lima Kaum dan Padang Panjang. Masing-masing daerah diduduki oleh seorang penghulu anak dari tiga orang istri Sultan Sri Maharaja Diraja. Karena kepadatan penduduk daerah Pariangan maka tahun 1186-1192 diadakan perpindahan penduduk, maka terbentuklah Luhak Nan Tigo.
Pada masing-masing luhak dibentuk beberapa kelarasan dan pada kelarasan dibentuk pula beberapa suku. Adapun suku dalam daerah kerajaan Minangkabau diatur menurut garis keturunan ibu. Siapapun bapak dari seorang anak atau apapun pangkat bapaknya, namun suku anaknya menurut suku ibunya. Untuk mengukuhkan berdirinya suku, maka harta pusaka dari nenek, diwariskan kepada ibun dan dari ibu diwariskan pula kepada anak perempuan. Aturan adat yang demikian disebut Matrilinial. Hanya dua daerah di dunia ini yang memakai aturan Matrilinial. Satu didaerah pedalaman Hindia, asal nenek moyangnya dahulu 2000 tahun sebelum masehi. Dan satu lagi berkembang di Sumbar. Bagi perempuan harta pusaka bukan untuk kepentingan pribadi, tapi untuk jaminan hidup keturunan suku.
Pada tahun 1292, cicit dari Puti Jamilan, bernama Putri Dara Jingga yang pemangku Putri Mahkota, dinikahkan dengan Mahisa Anabrang, Panglima kerajaan Singhasari, keluarga dari Raja Kartanegara. Sebelum menikah terlebih dahulu Mahisa di-islamkan. Tahun 1293 Puti Dara Jingga sedang hamil, pergi mengikuti suaminya pulang ke Singhasari yang dipanggil oleh raja Pertama Majapahit (Raden Wijaya). Putri Dara Jingga membawa adik seayah dengannya yaitu Puti Dara Petak untuk pengasuh anaknya yang akan lahir. Beberapa bulan dikerajaan Majapahit yang mengambil alih kerajaan Singhasari itu, lahirlah anak dari Puti Dara Jingga yang diberi nama Adityawarman.
Puti Dara Petak, dinikahi oleh Raja Majapahit (Raden Wijaya). Puti Dara Petak berubah nama menjadi Diyan Sri Tribuaneswari. Walaupun telah menjadi istri Raja Majapahit, Puti Dara Petak tetap mengasuh Adityawarman di kerajaan Majapahit.
Karena Datuk Ketumanggungan telah sangat tua, maka tahun 1295, Puti Dara Jingga dipanggil pulang ke Minangkabau untuk menjadi Raja di Minangkabau dengan panggilan Bundo Kanduang. Anak Bundo Kanduang yang bernama Adityawarman tetap tinggal dikerajaan Majapahit, karena Puti Dara Petak tidak mau melepasnya pulang, ingin terus mengasuh anak kakaknya.
Setelah Bunda Kandung menjadi Raja Minangkabau, memanglah Datuk Ketumanggungan mangkat dalam usia 149 tahun dan disusul oleh meninggalnya Datuk Perparih Nan Sebatang dalam usia 146 tahun.
Si Kambang Bendahari (dayang-dayang utama dari Bunda Kandung) dinikahkan dengan Selamat Panjang Gobang (1292) yakni seorang diplomat utusan dari kerajaan Cina (khubilai Khan). Sebelum menikah terlebih dahulu Selamat Panjang Gombak di-Islamkan. Perkawinan itu melahirkan seorang anak bernama Cindur Mato th 1294. Cindur Mato diasuh ilmu perang oleh Mahisa Anabrangyang yang teringat akan anak kandungnya Adityawarman jauh di Majapahit. Selain itu Cindur Mato dididik ilmu silat pula oleh ayah kandungnya Selamat Panjang Gombak. Maka menjadilah Cindur Mato seorang pendekar yang tangguh dan Panglima kerajaan Minangkabau yang tiada tandingan dizamannya.
Adityawarman sendiri yang Putra Mahkota Kerajaan Minangkabau, dididik ilmu perang dan ilmu kerjaan oleh Majapahit. Adityawarman pernah menjadi Wirdamatri yang merupakan predikat setaraf dengan Mpu Nala dan Maha Patih. Karena itu Adityawarman salah seorang Tri Tunggal Kerajaan Majapahit.
Setelah dewasa pulanglah Adityawarman menemui Bundo Kandung dan kawin dengan Puti Bungsu (anak mamaknya Rajo Mudo) dari Ranah Sikalawi-Taluk Kuantan, sebelum menikah Adityawarman yang menganut Budha, terlebih dahulu di-Islamkan.
Pada tahun 1347 Adityawarman dinobatkan menjadi Raja Minangkabau bergelar Dang Tuanku (Sutan Rumandung). Pernikahan Adityawarman dengan Puti Bungsu melahirkan anak yang bernama Ananggawarman.
Gahah Mada pernah marah kepada Adityawarman karena tidak mau takluk kepada Majapahit. Tapi Adityawarman tidak segan kepada Gajah Mada, karena mereka sependidikan. Gajah Mada mencoba menyerang Minangkabau pada th 1348, tapi gagal, malah Adityawarman pernah membantu Majapahit menaklukkan Bali.
Sewaktu Minangkabau dibawah pimpinan Ananggawarman tahun 1375-1417, pertahanan kerajaan Minangkabau telah sangat kuat. Patih Wikrawardhana dikerajaan Majapahit, masih mencoba menyerang kerajaan Minangkabau tahun 1409, tapi tetap tidak berhasil. Itu merupakan serangan yang terakhir terhadap Minangkabau.
Kalau dizaman Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang, kerajaan Minangkabau terkenal dengan aturan adat dan filsafahnya, maka dizaman Bundo Kanduang, Adityawarman dan Ananggawarman kerajaan Minangkabau terkenal dengan keahlian Cindur Mato sebagai panglima perangnya.
Sesudah Ananggawarman tidak terdengar lagi kegiatan Raja Minangkabau, mungkin karena raja dan penghulunya tidak lagi membuat ubahan, baik untuk kerajaan, maupun untuk rakyat yang memang telah sempurna dibentuk oleh cerdik pandai terdahulu.
Demikian sempurnanya aturan adat dikerjakan Minangkabau sangat pula membantu pelaksanaan aturan adat itu, karena adat Minangkabau disusun bersendi syarak (agama Islam) dan syarak bersendi Kitabullah.

(Sumber : Kerajaan Minangkabau - Jamilus Jamin)

BAB I : Sejarah Minangkabau 1

 1. Kerajaan Pertama di Gunung Merapi
  1. Maharaja yang Bermahkota
Dikatakan pula oleh Tambo, bahwa dalam pelayaran putera-putera Raja Iskandar Zulkarnain tiga bersaudara, dekat pulau Sailan mahkota emas mereka jatuh ke dalam laut. Sekalian orang pandai selam telah diperintahkan untuk mengambilnya. Tetapi tidak berhasil, karena mahkota itu dipalut oleh ular bidai di dasar laut.

Ceti Bilang Pandai memanggil seorang pandai mas. Tukang mas itu diperintahkannya untuk membuat sebuah mahkota yang serupa.
Setelah mahkota itu selesai dengan pertolongan sebuah alat yang mereka namakan "camin taruih" untuk dapat menirunya dengan sempurna. Setelah selesai tukang yang membuatnya pun dibunuh, agar rahasia tidak terbongkar dan jangan dapat ditiru lagi.
Waktu Sri Maharaja Diraja terbangun, mahkota itu diambilnya dan dikenakannya diatas kepalanya. Ketika pangeran yang berdua lagi terbangun bukan main sakit hati mereka melihat mahkota itu sudah dikuasai oleh si bungsu. Maka terjadilah pertengkaran, sehingga akhirnya mereka terpisah.
Sri Maharaja Alif meneruskan pelayarannya ke Barat. Ia mendarat di Tanah Rum, kemudian berkuasa sampai ke Tanah Perancis dan Inggris. Sri Maharaja Dipang membelok ke Timur, memerintah negeri Cina dan menaklukkan negeri Jepang.
2. Galundi nan Baselo
Sri Maharaja Diraja turun sedikit ke bawah dari puncak Gunung Merapi membuat tempat di Galundi Nan Baselo. Lebih ke baruh lagi belum dapat ditempuh karena lembah-lembah masih digenangi air, dan kaki bukit ditutupi oleh hutan rimba raya yang lebat.
Mula-mula dibuatlah beberapa buah taratak. Kemudian diangsur-angsur membuka tanah untuk dijadikan huma dan ladang. Teratak-teratak itu makin lama makin ramai, lalu tumbuh menjadi dusun, dan Galundi Nan Baselo menjadi ramai.
Sri Maharaja Diraja menyuruh membuat sumur untuk masing-masing isterinya mengambil air. Ada sumur yang dibuat ditempat yang banyak agam tumbuh dan pada tempat yang ditumbuhi kumbuh, sejenis tumbuh-tumbuhan untuk membuat tikar, karung, kembut dsb. Ada pula ditempat yang agak datar. Ditengah-tengah daerah itu mengalir sebuah sungai bernama Batang Bengkawas. Karena sungai itulah lembah Batang Bengkawas menjadi subur sekali.
Beratus-ratus tahun kemudian setelah Sri Maharaja Diraja wafat, bertebaranlah anak cucunya kemana-mana, berombongan mencari tanah-tanah baru untuk dibuka, karena air telah menyusut pula. Dalam tambo dikatakan "Tatkalo bumi barambuang naiak, aia basintak turun".
Keturunan Sri Maharaja Diraja dengan "Si Harimau Campa" yang bersumur ditumbuhi agam berangkat ke dataran tinggi yang kemudian bernama "Luhak Agam" (luhak = sumur). Disana mereka membuka tanah-tanah baru. Huma dan teruka-teruka baru dikerjakan dengan sekuat tenaga. Bandar-bandar untuk mengairi sawah-sawah dikerjakan dengan sebaik-baiknya.
Keturunan "Kambing Hutan" membuka tanah-tanah baru pula di daerah-daerah Gunung Sago, yang kemudian diberi nama "Luhak 50 Koto" (Payakumbuh) dari luhak yang banyak ditumbuhi kumbuh.
Keturunan "Anjing yang Mualim" ke Kubang Tigo Baleh (Solok), keturunan "Kucing Siam" ke Candung-Lasi dan anak-anak raja beserta keturunannya dari si Anak Raja bermukim tetap di Luhak Tanah Datar. Lalu mulailah pembangunan semesta membabat hutan belukar, membuka tanah, mencencang melateh, meneruka, membuat ladang, mendirikan teratak, membangun dusun, koto dan kampung.

3. Kedatangan Sang Sapurba
Tersebutlah kisah seorang raja bernama Sang Sapurba. Di dalam tambo dikatakan "Datanglah ruso dari Lauik". Kabarnya dia sangat kaya bergelar Raja Natan Sang Sita Sangkala dari tanah Hindu. Dia mempunyai mahkota emas yang berumbai-umbai dihiasai dengan mutiara, bertatahkan permata berkilauan dan ratna mutu manikam.
Mula-mula ia datang dari tanah Hindu. Ia mendarat di Bukit Siguntang Maha Meru dekat Palembang. Disana dia jadi menantu raja Lebar Daun. Dari perkawinannya di Palembang itu dia memperoleh empat orang anak, dua laki-laki yaitu Sang Nila Utama, Sang Maniaka; dua perempuan yaitu Cendera Dewi dan Bilal Daun.
Pada satu hari Sang Sapurba ingin hendak berlayar menduduki Sungai Indragiri. Setelah lama berlayar, naiklah dia ke darat, akhirnya sampai di Galundi Nan Baselo. Waktu itu yang berkuasa di Galundi Nan Baselo ialah Suri Dirajo, seorang dari keturunan Sri Maharaja Diraja. Suri Diraja tekenal dengan ilmunya yang tinggi, ia bertarak di gua Gunung Merapi. Karena ilmunya yang tinggi dan pengetahuannya yang dalam, ia jadi raja yang sangat dihormati dan disenangi oleh penduduk Galundi Nan Baselo dan di segenap daerah. Ia juga bergelar Sri Maharaja Diraja, gelar yang dijadikan gelar keturunan raja-raja Gunung Merapi.
Anak negeri terheran-heran melihat kedatangan Sang Sapurba yang serba mewah dan gagah. Orang banyak menggelarinya "Rusa Emas", karena mahkotanya yang bercabang-cabang. Oleh karena kecerdikan Suri Dirajo, Sang Sapurba dijadikan semenda, dikawinkan dengan adiknya bernama Indo Julito. Sang Sapurba adalah seorang Hindu yang beragama Hindu. Dia menyembah berhala. Lalu diadakan tempat beribadat di suatu tempat. Tempat ini sampai sekarang masih bernama Pariangan (per-Hiyang-an = tempat menyembah Hiyang / Dewa). Dan disitu juga terdapat sebuah candi buatan dari tanah tempat orang-orang Hindu beribadat. Ada juga yang mengatakan tempat itu adalah tempat beriang-riang.

4. Raja yang Hanya Sebagai Lambang
Sang Sapurba lalu dirajakan dengan memangku gelar Sri Maharaja Diraja juga. Tetapi yang memegang kendali kuasa pemerintahan tetap Suri Dirajo sebagai orang tua, sedangkan sang sapurba hanya sebagai lambang.
Untuk raja dengan permaisurinya dibuatkan istana "Balairung Panjang" tempatnya juga memerintah. Istana ini konon kabarnya terbuat dari : tonggaknya teras jelatang, perannya akar lundang, disana terdapat tabuh dari batang pulut-pulut dan gendangnya dari batang seleguri, getangnya jangat tuma, mempunyai cenang dan gung, tikar daun hilalang dsb.
Karena Pariangan makin lama makin ramai juga Sang Sapurba pindah ke tempat yang baru di Batu Gedang. Seorang hulubalang yang diperintahkan melihat-lihat tanah-tanah baru membawa pedang yang panjang. Banyak orang kampung yang mengikutinya. Mereka menuju ke arah sebelah kanan Pariangan. Terdapatlah tanah yang baik, lalu dimulai menebang kayu-kayuan dan membuka tanah-tanah baru. Selama bekerja hulubalang itu menyandarkan pedang yang panjang itu pada sebuah batu yang besar. Banyak sekali orang yang pindah ke tempat yang baru itu. Mereka berkampung disitu, dan kampung baru tempat menyandarkan pedang yang panjang itu, sampai sekarang masih bernama Padang Panjang.
Lama kelamaan Padang Panjang itu jadi ramai sekali. Dengan demikian Pariangan dengan Padang Panjang menjadi sebuah negeri, negeri pertama di seedaran Gunung Merapi di seluruh Batang Bengkawas, yaitu negeri Pariangan Padang Panjang. Untuk kelancaran pemerintahan perlu diangkat orang-orang yang akan memerintah dibawah raja. Lalu bermufakatlah raja dengan orang-orang cerdik pandai. Ditanam dua orang untuk Pariangan dan dua orang pula untuk Padang Panjang. Masing-masing diberi pangkat "penghulu" dan bergelar "Datuk". · Dt. Bandaro Kayo dan Dt. Seri Maharajo untuk Pariangan · Dt. Maharajo Basa dan Dt. Sutan Maharajo Basa untuk Padang Panjang. Orang-orang yang berempat itulah yang mula-mula sekali dijadikan penghulu di daerah itu. Untuk rapat dibuat Balai Adat. Itulah balai pertama yang asal sebelum bernama Minangkabau di Pariangan.
5. Sikati Muno
Seorang orang jahat yang datang dari negeri seberang tiba pula di daerah itu. Karena tubuhnya yang besar dan tinggi bagai raksasa ia digelari orang naga "Sikati Muno" yang keluar dari kawah Gunung Merapi.
Rakyat sangat kepadanya dan didongengkan mereka, bahwa naga itu tubuhnya besar dan panjangnya ada 60 depa dan kulitnya keras. Ia membawa bencana besar yang tidak terperikan lagi oleh penduduk. Kerjanya merampok dan telah merusak kampung-kampung dan dusun-dusun. Padi dan sawah diladang habis dibinasakannya. Orang telah banyak yang dibunuhnya, laki-laki, perempuan dan gadis-gadis dikorbankannya. Keempat penghulu dari Pariangan-padang Panjang diutus Suri Drajo menghadap Sang Sapurba di Batu Gedang tentang kekacauan yang ditimbuklan oleh Sikati Muno. Untuk menjaga prestisenya sebagai seorang semenda, Sang Sapurba lalu pergi memerangi Sikati Muno. Pertarungan hebat pun terjadi berhari-hari lamanya. Pedang Sang Sapurba sumbing-sumbing sebanyak seratus sembilan puluh. Akhirnya naga Sikati Muno itu mati dibunuh oleh Sang Sapurba dengan sebilah keris. Keris tersebut dinamakan "Keris Sikati Muno", keris bertuah, tak diujung pangkal mengena, jejak ditikam mati juga.
Sejak itu amanlah negeri Pariangan-Padang Panjang, dan semakin lama semakin bertambah ramai. Oleh sebab itu Sang Sapurba memerintahkan lagi mencari tanah-tanah baru. Pada suatu hari raja sendiri pergi keluar, melihat-lihat daerah yang baik dijadikan negeri. Dia berangkat bersama-sama dengan pengiring-pengiringnya. Ia sampai pada suatu tempat mata air yang jernih keluar dari bawah pohon tarab. Sang Sapurba berpikir, tanah itu tentu akan subur sekali dan baik dijadikan negeri. Lalu diperintahkannyalah membuka tanah-tanah baru ditempat itu. Sampai sekarang tanah itu dinamakan Sungai Tarab. Kemudian hari jadi termasyhur, tempat kedudukan "Pamuncak Koto Piliang" Dt. Bandaharo di Sungai Tarab. Selain itu raja menemui pula setangkai kembang teratai di daerah itu, kembang yang jadi pujaan bagi orang-orang Hindu. Raja menyuruh mendirikan sebuah istana di tempat itu. Setelah istana itu siap raja lalu pindah bertahta dari Pariangan-Padang Panjang ke tempat yang baru itu, yang kemudian dinamakan negeri Bungo Satangkai, negeri yang kedua sesudah Pariangan-Padang Panjang.
(Sumber : Minangkabau Tanah Pusaka - Tambo Minangkabau)
2

Ciri dan Adat Orang Minang

1. Aman dan Damai Bila dipelajari dengan seksama pepatah-pepatah adat Minang, serta fakta-fakta yang hidup dalam masyarakat seperti masalah perkawinan, sistem kekerabatan, kedudukan tanah pusaka tinggi, peranan mamak dan penghulu,kiranya kita dapat membaca konsep-konsep hidup dan kehidupan yang ada dalam pikiran nenek-moyang kita.
Dari konsep-konsep hidup dan kehidupan itu, kita juga dapat memastikan tujuan hidup yang ingin dicapai oleh nenek-moyang kita.
Tujuan hidup itu adalah: BUMI SANANG PADI MANJADI TARANAK BAKAMBANG BIAK
Rumusan menurut adat Minang ini, agaknya sama dengan masyarakat yang aman damai makmur ceria dan berkah, seperti diidamkan oleh ajaran Islam yaitu "Baldatun Taiyibatun wa Robbun Gafuur". Suatu masyarakat yang aman damai dan selalu dalam penmgampunan Tuhan. Dengan adanya kerukunan dan kedamaian dalam lingkungan kekerabatan, barulah mungkin diupayakan kehidupan yang lebih makmur. Dengan bahasa kekinian dapat dikatakan bila telah tercapai stabilitas politik, barulah kita mungkin melaksanakan pembangunan ekonomi.
2. Masyarakat nan "Sakato"
Kalau tujuan akan dicapai sudah jelas, yaitu suatu masyarakat yang aman damai makmur dan berkah , maka kini tinggal bagaimana cara yang perlu ditempuh untuk mencapai tujuan itu. Kondisi yang bagaimana yang harus diciptakan. Menurut ketentuan adat Minang, tujuan itu akan dapat dicapai bila dapat disiapkan prasarana dan sarana yang tepat. Yang dimaksud dengan prasarana disini adalah manusia-manusia pendukung adat Minang, yang mempunyai sifat dan watak seperti diuraikan diatas. Manusia dengan kualitas seperti itulah yang diyakini adat Minang yang akan dapat membentuk suatu masyarakat yang akan diandalkan sebagai sarana (wahana) yang akan membawa kepada tujuan yang diidam-idamkan yaitu suatu masyarakat yang aman damai makmur dan berkah.
Suatu Baldatun Taiyibatun Wa Robbun Gafuur. Corak masyarakat idaman menurut kacamata adat Minang adalah masyarakat nan "sakato".
3. Unsur-unsur Masyarakat nan Sakato
Terdapat 4 unsur yang harus dipatuhi oleh setiap anggota masyarakat untuk dapat membentuk masyarakat nan sakato.
Sakato artinya sekata-sependapat-semufakat. Keempat unsur itu adalah:

a. Saiyo Sakato
Menghadapi suatu masalah atau pekerjaan, akan selalu terdapat perbedaan pandangan dan pendirian antar orang satu dengan yang lain sesuai dengan yang lain dengan pepatah "kapalo samo hitam, pikiran ba lain-lain".
Perbedaan pendapat semacam ini adalah sangat lumrah dan sangat demokratis. Namun kalau dibiarkan berlanjut, maka akan berakibat masalah itu takkan terselasaikan. Pekerjaan itu akan terkatung-katung. Karena itu harus selalu dicari jalan keluar. Jalan keluar yang ditunjukkan adat Minang adalah melakukan musyawarah untuk mufakat, bukan musyawarah untuk melanjutkan pertengkaran.
Keputusan boleh bulat (aklamasi) tapi boleh juga gepeng atau picak (melalui voting). Adat Minang tidak mengenal istilah "Sepakat untuk tidak se-Mufakat". Bagaimana proses keputusan diambil, namun setelah ada kata mufakat maka keputusan itu harus dilaksanakan oleh semua pihak. Keluar kita tetap utuh dan tetap satu. Setiap individu Minang disarankan untuk selalu menjaga hubungan dengan lingkungannya.

Adat Minang tidak terlalu memuja kemandirian (privacy) menurut ajaran individualisme barat. Adat Minang mengajarkan supaya membiasakan berembuk dengan lingkungan kendatipun menyangkut masalah pribadi. Dengan demikian adat Minang mendorong orang Minang lebih mengutamakan "kebersamaan" kendatipun menyangkut urusan pribadi. Kendatipun seorang individu Minang menduduki posisi sebagai penguasa seperti dalam kedudukan mamak-rumah atau pun Penghulu Andiko maka keputusan tidak mungkin juga diambil sendiri. Karena itu sikap otoriter tidak pernah disukai rang-orang Minang.
Adat Minang sangat mendambakan persatuan dan kesatuan dalam masyarakat Minang. Orang Minang yakin tanpa persatuan dan kesatuan itu akan menjauhkan mereka dari tujuan masyarakat yang ingin dicapai. Mereka memahami pula dalam hidup berkelompok dalam masyarakat akan selalu terdapat silang selisih, marah dan sengketa akan selalu terjadi. Antara sanduak dan periukpun tak pernah sunyi akan selalu ada kegaduhan. Namun demikian orang Minang mempunyai dasar filosofi yang kuat untuk mengatasinya.

Adat Minang akan selalu mencoba memelihara komunikasi dan kemungkinan berdialog. Karena dengan cara itu segala masalah akan selalu dapat dipecahkan melalui musyawarah. Orang Minang menganggap penyelesaian masalah diluar musyawarah adalah buruk. Dalam mencapai kata sepakat kadangkala bukanlah hal yang mudah. Karena itu memerlukan kesabaran, ketabahan dan kadangkala terpaksa menguras tenaga. Namun demikian musyawarah tetap diupayakan
b. Sahino Samalu Kehidupan kelompok sesuku sangat erat. Hubungan individu sesama anggota kelompok kaum sangat dekat. Mereka bagaikan suatu kesatuan yang tunggal-bulat. Jarak antara "kau dan aku" menjadi hampir tidak ada. Istilah "awak" menggambarkan kedekatan ini. Kalau urusan yang rumit diselesaikan dengan cara "awak samo awak", semuanya akan menjadi mudah. Kedekatan hubungan dalam kelompok suku ini, menjadikan harga diri individu, melebur menjadi satu menjadi harga diri kelompok suku.
Kalau seseorang anggota suku diremehkan dalam pergaulan, seluruh anggota suku merasa tersinggung. Begitu juga bila suatu suku dipermalukan maka seluruh anggota suku itu akan serentak membela nama baik sukunya.
c. Anggo Tanggo
Unsur ketiga yang dapat membentuk masyarakat nan sakato, adalah dapat diciptakannya pergaulan yang tertib serta disiplin dalam masyarakat.
Hal ini berarti bahwa setiap anggota masyarakat dituntut untuk mematuhi aturan dan undang-undang, serta mengindahkan pedoman dan petunjuk yang diberikan penguasa adat. Dalam pergaulan hidup akan selalu ada kesalahan dan kekhilafan. Kesalahan dan kekhilafan itu harus diselesaikan sesuai aturan. Dengan demikian ketertiban dan ketentraman akan selalu terjaga.
d. Sapikua Sajinjiang
Dalam masyarakat yang komunal, semua tugas menjadi tanggungjawab bersama. Sifat gotong royong menjadi keharusan. Saling membantu dan menunjang merupakan kewajiban. Yang berat sama dipikul yang ringan sama dijinjing. Kehidupan antara anggota kaum, bagaikan aur dengan tebing, saling bantu membantu, saling dukung mendukung. Dengan masyarakat nan sakato ini diharapkan akan dapat dicapai tujuan hidup dan kehidupan orang Minang sesuai konsep yang diciptakan nenek moyang orang Minang.

BUMI SANANG PADI MANJADI
PADI MASAK JAGUNG MAUPIA
ANAK BUAH SANANG SANTOSA
TARANAK BAKAMBANG BIAK
BAPAK KAYO MANDE BATUAH
MAMAK DISAMBAH urang PULO

Rabu, 30 November 2011

RUMAH GADANG

Rumah gadang sambilan ruang
salanja kudo balari
sakuaik salampang makan
sadareh budak baimbau

... sandinyo mancakam bumi
gonjong manjulang-julang langik
ka bawah takasiak bulan,taumbuik tamato punai
ka ateh taambun jantan
tampek badiri adaik jo syarak

janjang ameh tanggo suaso
ukie basaluak kiri jo kanan
pucuak ambuang salo manyalo
sansarunuik barangguang tanggo
batilam batatah kondai
bakilek ba camin taruih

cucuan atok labah bainggok
kasaunyo ma ula lidi
tiang panjang nago manggulampai
tonggak tuo rajo badiri

pintu gadang silewang gabang
pintu ketek silewang janggi
pintu tangah tampek manyibuak,tampek nan gadih malapeh pandang

anjuang tinggi 7 macamnyo
1.anjuang perak
2.anjuang suaso
3.anjuang ka amesan
4.anjuang podi
5.anjuang subang-subang
6.anjuang paraduan
7.anjuang paranginan,tampeknyo rajo badiam diri...

Lumbuang baririk di halaman
nan gadang sibayau-bayau
nan manangah sitinjau lawuik
nan ketek sitangguang lapa
tumpuan anak dagang jauah

Selasa, 28 Juni 2011

Kesenian Gandang Tasa adalah semacam alat musik perkusi yang dipukul terdiri dari 6 buah Tambur dan 1 buah Tasa. Menurut sejarah, Tambur ini berasal dari bagian kayu yang tersisa sewaktu pembuatan kapal Nabi Nuh di tanah arab kemudian dibawa oleh laut ke pantai Sumatera Barat yaitu ke Padang Pariaman . Pada masa sekarang Gandang Tasa digunakan untuk maarak anak daro jo marapulai, acara khatam alquran yang menanti tamu agung yang dating ke Padang Pariaman kemudian digabug dengan Silat Gelombang

Sumber
http://kabpariamandisbudpar.blogspot.com

Makam Syekh Burhanuddin

Syekh Burhanuddin dikenal sebagai penyebar agama di Minangkabau pada abad ke-17. Beliau memiliki pengetahuan yang mendalam tentang agama Islam dan juga dipercayai memiliki kekuatan supranatural.
Meninggalnya Syekh Burhanuddin pada tanggal 10 Syafar tidaklah membuat kharisma beliau tertelan oleh bumi. Hal ini terbukti sampai saat ini makam beliau masih dikunjungi oleh peziarah. Bangunan makam tersebut bercirikan arsitektur masjid pada abad ke-16. Dapat ditemui di Kecamatan Ulakan Tapakis 12 kilometer dari Pariaman. Suasana religius sangat terasa disekeliling makam tersebut dan setiap pengunjung harus mengenakan pakaian muslim

SUMBER
kabpariamandisbudpar.blogspot.com
PESTA BUDAYA TABUIK DI PARIAMAN


KABUPATEN PARIAMAN

Kota Pariaman yang mempunyai jarak 62 km 
sebelah utara Kota Padang adalah
Ibu Kabupaten Padang Pariaman. 
Pembagian wilayah Kota Pariaman terbagi tiga
Kecamatan yaitu Kecamatan Pariaman Tengah,
Kecamatan Pariaman Utara, dan
Kecamatan Pariaman Selatan.
Pariaman dikenal sebagai daerah pertama 
pengembang agama Islam di Sumatera Barat 
yang disebarkan oleh 
Syech Burhanuddin dari Ulakan.


PESTA BUDAYA TABUIK

Tabuik adalah salah satu bentuk pesta 
budaya rakyat, yang diadakan oleh
masyarakat Kota Pariaman dan Kota Bengkulu.
Pada saat sekarang Tabuik dijadikan Event 
Parawisata Nasional yang diadakan
sekali dalam setahun, mulai tanggal 
1 - 14 Muharram.
Pesta Budaya tabuik diadakan untuk memperingati 
kematian Hasan dan Hosen,
cucu Nabi Muhammad SAW pada waktu Perang 
Karbala di Medinah, yaitu
peperangan  antara Bani Umayah dari Syria 
yang dipimpin oleh raja Yazid dan
kelompok Islam yang dipimpin oleh Hasan dan Hosen.
Kegiatan tabuik masyarakat Pariaman yang terdiri 
dari dua kelompok yaitu
Kelompok Tabuik Pasar dan Kelompok Tabuik Subarang.
Dalam pembuatan tabuik tsb. terdiri dari tujuh 
tahapan pembuatan dan diselingi dengan
kegiatan-kegiatan lain.


1. MENGAMBIL TANAH ( 1 MUHARAM)

Tanah  diambil oleh seorang laki-laki 
yang memakai pakaian putih yang
menyimbolkan kejujuran kepemimpinan Hosen. 
Dua kelompok Tabuik mengambil
tanah dari tempat yang berseberangan 
dan diperjalanan kedua kelompok
bertemu dan biasanya mereka berkelahi 
menyimbolkan terjadinya Peran Karbala. 
Tanah itu dimasukkan kedalam daraga 
yang menggambarkan kuburan dariHosen.

2. MENEBANG BATANG PISANG ( 5 MUHARAM )

Seorang laki-laki dengan pakaian putih 
menebang pohon pisang hanya dengan
satu kali tebang menggambarkan ketajaman 
pedang Hosen membunuh musuh dalam
perang Karbala.

3. MAATAM ( 9 MUHARAM )

Maatam mengekspresikan kesedihan karena 
kematian Hosen. Beberapa orang dari
pembuat tabuik menangis didepan Panja 
(jari-jari). Berbentuk tangan dari
Hosen yang dibuat dari Seng dan diletakkan
didalam dulang yang dijunjung
diatas kepala seorang laki-laki.

4. MAARAK PANJA / JARI-JARI ( 9 MUHARAM )

Panja yang melambangkan jari-jari tangan Hosen 
yang diarak sepanjang jalan
Kota Pariaman menunjukkan kepada masyarakat
kekejaman Raja Yazid yang
membunuh Hosen.

5. MAARAK SORBAN ( 12 MUHARAM )

Beberapa orang mengarak sorban, pedang tajam 
yang dibuat dari bambu dan
kopiah Haji Hosen, yang menggambarkan 
keberanian Hosen pada Perang karbala.
Sorban diarak kejalan diiringi dengan 
gendang tasa, kejadian ini
menggambarkan situasi perang Karbala.

6. TABUIK NAIK PANGKAT ( 14 MUHARAM )

Pada waktu Sahur (pukul 4.00 WIB) dua bagian 
dari Tabuik dibentuk menjadi
sebuah Tabuik yang dihias dengan kertas 
berwarna warni. Kemudian Tabuik yang
telah selesai dihias tsb. dibawa ke jalan
untuk diarak sepanjang jalan dan
diiringi dengan gendang tasa, diperjalanan 
kedua kelompok pembuat tabuik
yaitu Tabuik Pasar dan Tabuik Subarang bertemu 
dan saling ejek mengejek.

7. MEMBUANG TABUIK ( 14 MUHARAM )

Tabuik dibuang kelaut diakhir perta Budaya Tabuik 
pada sore hari ( pukul 18.00 WIB). 
Sebelum dibuang benda seperti Sorban (topi Hosen),
pedang, panja disimpan, dan gendang tasa dibawa 
kembali kerumah pemiliknya.....
 
 
Silahkan ditukuk ditambahi 
kok ado dunsanak nan labiah tahu.
Tentang tabuik nan di Bengkulu 
kurang labiah saroman itu pulo 
wassalam
Roedy Tandjoeng

Gandang Tasa DURGA Junior


Inilah tim Junior gandang Tasa DURGA (Durian Gadang) Foto  ini di ambil pasa saat Festifal Gandang Tasa di BULUH KASOK Sungai sariak,,,untuk melihat foto kami yg lebih banyak lagi silah kan klik aja http://www.facebook.com/home.php?sk=group_161317337224749&ap=1

Jumat, 06 Mei 2011

Kesenian Tradisional Minang Kabau

Kesenian Tradisional Minang Kabau,(Tambua,,Gandang-Gandang)

Bagi Dunsanak Durga khususnya,dan Dunsanak Minang Umumnya,,ini adalah vidio festival di provinsi lampung,,,(Kesenian GANDANG-GANDANG berasal dari pariaman,,,)mari kita lestarikan Kebudayaan Minang kabau  yang sudah hampir hilang,,

Selasa, 12 April 2011

Pitaruah Ayah part 1


Nak kanduang sibirang tulang, buah hati limpo bakuruang,
ubek jariah palarai damam, sidingin tampa di kapalo.
Kamari-mari molah duduak, ado rundiang ayah sampaikan.
Kalau diliek dipandangi nak, dicaliak umua nan tapakai
badan Ayah baransua tuo, kini manjalang anam puluah
Hari patang mantari turun, awan di barat merah sago, malam nan tidak lamo lai
Nyampang tibo saruan Allah, aja sampai capek paminto umua alah tibo dijangkauan.
Tabuah digoa tigo-tigo, badan baganjua baliak pulang katampek asa mulo jadi
suruik ka tanah nan sabingkah.
Badarun aia pamandian, ba lasia bunyi cabiak kapan
dikocong dikabek limo, cukuik satanggi jo aia bungo
Bararak tandu ka surau, tibo di surau dibujuakan
mairiang shalat ampek takbir.
Kini manuju ka pusaro, iyo ka pandam pakuburan
tagolek di liang lahat, tanah sakapa bapakalang
mahereang mahadok ka kiblat, dibateh papan nan sahalai
Badaro tanah panimbunan, tatagak mejan nan duo
manyalo ciluang hitam, do’a dibaco panghabisan
Tujuah langakah mayik di kubua, nak datang malaikaik pai batanyo
Tapi jangankan tanyo ka tajawab, usaha ndak hawa katabandiang
utang ke anak nan takana, kasiah tagaiang alun sampai.

Jo kok basuo nan bak nantun nak,
taradok pusako ka bajawek ataupun warih ka di baia, usah diarok dari ayah
Sabab baalah baitu, salamo dunia di tunggu, Ayah diseso parasaian
gilo diarak-arak untuang
Tapi kaganti ameh, bak di urang timbalam, pitih nan babilang
hanyo pitaruah batinggakan, banamo pitaruah Ayah.
Itulah tando kasiah sayang, utang nan nyato pado anak, kini ayah lansaikan
Dangakan molah anak kanduang, simakkan bana nyato-nyato
Satitiak usah lupokan, sabarih janganlah hilang, ganggam arek, paciak tantaguah
Siang ambiklah ka patungkek, kok malam jadikan suluah pidoman patang jo pagi.
Takalo maso dulunyo, awal mulonyo insan ka lahia
bundo di dalam pasawangan sadang dilamun-lamun ombak
angin badai, lauik manggilo, kilek patuih hujan basabuang,
kalam nan bukan alang-alang.
Lua ke Allah, bagantuang indak kamano ka manggapai.
Dek lamo lambek badayuang, sapueh-pueh panangguangan sampailah juo di Kualo
Tali turun sauh dibuang, kapa marapek di tapian balabuah surang pasisianyo.
Sawajah kapado urang nantun nak, mandi darah sakujua badan,
kakinyo malajang-lajang, taganggam tangan nan duo,
bunyi pakiak sapanuah kampuang cando pandeka dapek lawan.
O . . . buyuang, kok ang nak tahu, itulah anak manusia nan lahia ka bumi Allah nangko lahia sarato jo untuangnyo.
Adopun tujuan jo mukasuiknyo,
mangko jo darah samo tibo, sirah hati pakek panganan lambang barani,
lahia batin indak manaruah gamang-takuik.
Mangapa tangan suok kida mandongkak, manyipak-nyipak,
itu ma’ana urang bagak,
medan galanggang nan nyo hadang cakak nan tidak kunjuang damai.
Pakiak bukan sumbarang pakiak, sorak kumando dilewatkan ibaraik badia jo mariam, tando nagari dalam parang.
Mako pado hakikatnyo nak, hiduik adolah perjuangan dan satiok perjuangan bakandak manang.
Kamanangan janjang ka istana manuju kurisi di partuan.
Sasungguahnyo manusia adolah rajo, badaulat di muko bumi Allah bana nan manobatkan, “Inni ja’ilu fil ardhi khalifah”.
Untuak itu Ayah pasankan nak, usah manjadi rajo kalah.
Nan bajalan manakua-nakua. mangecek tatagun-tagun, hilang banso punah martabat. Manambah gantang tatanakkan, manyamak dalam nagari.
Kalau Waang nak tau juo nak, iduik nangko indaklah lamo,
dunia hanyo sakijok mato.
Caliaklah contoh jo ibaraik, maso laia di songsong abang,
mati di anta dek sumbayang.
Antaro abang jo sumbayang, sinan kamat dibacokan hinggo itulah jatah umua.
Bakato Muhammad Iqbal, apolah kato dek baliau:
“Umur bukan ukuran masa, hidup tidak takaran zaman, sehari singa di rimba, seribu tahun bagi si domba”.
Ma’ana manjadi singo nak, bukan manggadang bakato darek bakitabullah di tangan,
kandak badannyo awak surang.
Indak nak, bukan baitu filsafahnyo,
tapi bialah satahun jaguang,
pagunokan maso nan pendek, bapacu marabuik buko mambuek amal kabaikan.
Baguno ka diri surang, tapakai di masyarakat, manfaat salingkuang alam.
Untuak apo panjang bajelo, hinggo batungkek saluang api,
kalau awak kiliran tangan masak lacuik, makan parentah.
Kok kunun pulo, kuma bamiang manggata di dalam kampuang,
cilako hiduik tu namonyo.
Salampiah nan dari pado itu, umua bukan sabateh kubua, hiduik bukan salacuik abiah. Tapi adoh hiduik sasudah hiduik. Panjang nan tidak kaujuangan nak.
Itulah hiduik di akhirat, kamari tujuan sabananyo.
Takalo insan di alam roh, janji-lah sudah tapabuek, patimbang muluik dengan Allah, makhluk kata An-Khalik nyo.
Kito mamaciak tali kamba nak, usah kandua tagang salampiah, dunia akhirat satimbangan.
Nyampang kok putuih kaduonyo sinan tahanyuik handam karam.
Kini di rintang angan-angan, isuak diseso panyasalan.di dunia rintang jo ratok,
di akhirat gilo jo gagau, kalamlah jalan ka sarugo.
Mangana sakah nan bak kian nak, Ayah bapasan, bawasiat, rantangkan banang ka langik, hubuangkan diri jo Tuhan.
Jalin kucindan ateh bumi, paharek buhua jo manusia.
“Hablum minallah wa hamblum minannas”.
Itulah cancangan duo sagarajai, kapa nan duo salabuahan, samo dek awak kaduonyo.
Mano nak kanduang jo nyo Ayah, ijanklah bosan mandangakan,
mangecek indak ka lamo, taga dek seso manyimpannyo.
Jikok anak taruih mamandang, simak jo daliah mato batin.
Adopun tubuah manusia tarbangun dari tigo rungo.
Partamo, runggo diateh, kaduo runggo di tangah, katigo runggo di bawah.
Nan dimukasuik jo runggo ateh, iolah ruang di kapalo,
bakandak isi pangatahuan, ibaraik dinamo masin kapa, ulu tanago baliang-baliang, pambalah aia di lauik-tan.
Tasabuik runggo di tangah, yaitu dado rumpun hati, sangka iman lubuak agamo,
ikolah pidoman juru mudi, kaganti kompas di nan kodoh.
Jan sampai sasek palayaran, hilang tujuan tanah tapi.
Salorong runggo do bawah nak, paruik nan mintak dikanyangkan
umpamo parka tampek barang. Tansano muatan kosong alamaik oleang jalan kapa, dihampeh ombak jo galombang, manantang karam tak batumpang.
Atau kalaulah buliah Ayah misalkan kapado alam Minang kabau tardiri dari tigo luhak. Partamo, luhak nan tuo.
Lambang kuciang warnanyo kuniang. Kuciang itu binatang lihai, tinggi pangaruah, berwibawa. Kuniang tando kamanangan. Tujuannyo, urang cadiak adi kuasa, sumber ilmu pangatahuan, “Sains Tekhnologi” kato rang kini.
Kaduo, luhak nan tangah.
Simbol sirah harimau campo, barani karano bana, hukumpun tidak makan bandiang banamo parentah syarak.
Calak alah tajam pun ado, tingga dek bawa manyampaikan. Adaik alah syarak pun ado, tingga dek awak mamakaikan, moral, spiritual, istilah baru.
Nan katigo, luhak nan bungsu.
Corak hitam lambangnyo kambiang, rila jo saba bausaho, rumpuik nan indak pantang daun, dek padi mangko manjadi, dek ameh mangkonyo kamek.
Mangecek iyo jo pitih, bajalan tantu jo kain, karajo tantu jo nasi, ekonomi baso canggihnyo.Itulah tadi sahalai pilin tigo, tungku tigo sajarangan. Kok waang nak samparono nak, manjadi urang baharago. Sajundun jasmani jo rohani, dunia dapek akhirat buliah. Mako sarek-kan kapalo jo pangatahuan, panuahkan dado jo ugamo, gasaklah paruik jo harato. Di ateh tungku nan tigo, sinan tajarang kahidupan, masak hakikat manusia insan nan kamil sabatangnyo. Tapi usah senjang, barek subalah nak, rumik naraco manimbangnyo. Kok cadiak sajo dibanggakan, hiduik bansaik tangan di bawah, tagigik lidah bapituah. Ameh hurai nan Ang sambuakan Yuang, loyanglah juo kecek urang.

Tapek bak bunyi buah pantun, kok rintiak bana kalodeta,
lakek talilik di kapalo, kok cadiak bana kalau suka, kecek timpik di nan kayo. Baitupun awak binguang, maraso cadiak, kecek indak bakarunciangan. Disangko pitih pasak lidah, sombong takabua muaronyo. Gekang-bagekang siliah rarek, indak tau tampuak lah layua, lonjak-balonjak labu anyuik, isi gaja, ampo di dalam mahajan, tuah tarnamokan. Di baliak nan dari pado itu nak, kok di ateh isilah panuah, cadiak alah pandai pun inyo, nan di bawah muatan sarek, pitian sambua, bando malimpah. Tapi pasak ditangahnyo lungga, iman goyang, agamo tipih, hilang pidoman kapa basi. Andaknyo, kok kayo suko dmakan, ringan tangan manolong urang, rajin bazakaik, basidakah. Kok tumbuah awak urang cadiak, kusuik sato-lah manyalasaikan, karuah baringan mampajaniah. Maha cacek murah nasihat. Sinan nagari mako aman.
Mako dari itu nak, satiok kakok ka diawai, rundiang sapatah ka disabuik. Bulek lah bana kato hati, sasuai dalam kiro-kiro, naiak-kan dulu ka daraik, caliak timbangan hukum syarak lai kok dalam ridha Allah. Itulah naraco nan tak paliang nak sarato bungkah nan piawai, indak mangicuah salamonyo .
Anak kanduang balahan nyao, jarek samato Ayah Bundo
putuih tak jo-aa ka diuleh,
sapihak ka badan diri Ayah, urang nan bukan cadiak pandai,
ilmu kurang sikola tangguang, mangaji tak sampai katam,
rumik lah Ayah babarito.
Ndak mungkin si bisu ka banyanyi, mustahil si lumpuah ka manari,
baa rang buto ka mambimbiang.
Hanyo dek sungguah rajin manyimak dari alam
dapek baguru di sinan tibo pangajian.
Mari kito cari rasionyo. Dibalun sabalun kuku,
dikambang saleba alam, alam takambang jadi guru, bumi jo langik ado di dalam.
Kini nak Ayah curai Ayah papakan,
tuah cilako nan talukih, dicaliak jo mato batin,
diambiak ka ujuik paham sinan tasaiah ma’ananyo.
Ado ampek suruhan, ampek tagah nak.
Nan partamo iduiklah bak rumpun aua, usah dicontoh bak tibarau.
Nan kaduo, tiru baringin tangah padang, jauahkan sifaik bak kiambang.
Nan katigo, simaklah anau dalam rimbo, pantangkan jadi bio-bio.
Dan nan kaampek, jadilah sarupo paku, ijan saroman jo binalu.

Baa kakanyo rumpun aua,
tapuntalang buluah bambu,
nyampang tumbuah hitam tapi lereang tanah suko, tabiang mamuji.
Kok indak lah urek nan mangungkuang taban bandaro sadionyo.
Bukik pun indak taseso, lurah di bawah talinduangan,
gagang manjelo dapek junjuang, maso rabuang carian urang, kok gadang banyak manfaat, lah tuo paguno juo.
Baitu sifat ka dipakai nak