1. Kerajaan Pertama di Gunung Merapi
1. Maharaja yang Bermahkota
Dikatakan pula oleh Tambo,
bahwa dalam pelayaran putera-putera Raja Iskandar Zulkarnain tiga
bersaudara, dekat pulau Sailan mahkota emas mereka jatuh ke dalam laut.
Sekalian orang pandai selam telah diperintahkan untuk mengambilnya.
Tetapi tidak berhasil, karena mahkota itu dipalut oleh ular bidai di
dasar laut.
Ceti Bilang Pandai memanggil seorang pandai mas. Tukang mas itu diperintahkannya untuk membuat sebuah mahkota yang serupa.
Setelah mahkota itu selesai dengan pertolongan sebuah alat yang mereka namakan "camin
taruih" untuk dapat menirunya dengan sempurna. Setelah selesai tukang
yang membuatnya pun dibunuh, agar rahasia tidak terbongkar dan jangan
dapat ditiru lagi.
Waktu Sri Maharaja Diraja terbangun, mahkota
itu diambilnya dan dikenakannya diatas kepalanya. Ketika pangeran yang
berdua lagi terbangun bukan main sakit hati mereka melihat mahkota itu
sudah dikuasai oleh si bungsu. Maka terjadilah pertengkaran, sehingga
akhirnya mereka terpisah.
Sri Maharaja Alif meneruskan
pelayarannya ke Barat. Ia mendarat di Tanah Rum, kemudian berkuasa
sampai ke Tanah Perancis dan Inggris. Sri Maharaja Dipang membelok ke
Timur, memerintah negeri Cina dan menaklukkan negeri Jepang.
2. Galundi nan Baselo
Sri
Maharaja Diraja turun sedikit ke bawah dari puncak Gunung Merapi
membuat tempat di Galundi Nan Baselo. Lebih ke baruh lagi belum dapat
ditempuh karena lembah-lembah masih digenangi air, dan kaki bukit
ditutupi oleh hutan rimba raya yang lebat.
Mula-mula dibuatlah
beberapa buah taratak. Kemudian diangsur-angsur membuka tanah untuk
dijadikan huma dan ladang. Teratak-teratak itu makin lama makin ramai,
lalu tumbuh menjadi dusun, dan Galundi Nan Baselo menjadi ramai.
Sri
Maharaja Diraja menyuruh membuat sumur untuk masing-masing isterinya
mengambil air. Ada sumur yang dibuat ditempat yang banyak agam tumbuh
dan pada tempat yang ditumbuhi kumbuh, sejenis tumbuh-tumbuhan untuk
membuat tikar, karung, kembut dsb. Ada pula ditempat yang agak datar.
Ditengah-tengah daerah itu mengalir sebuah sungai bernama Batang
Bengkawas. Karena sungai itulah lembah Batang Bengkawas menjadi subur
sekali.
Beratus-ratus tahun kemudian setelah Sri Maharaja Diraja
wafat, bertebaranlah anak cucunya kemana-mana, berombongan mencari
tanah-tanah baru untuk dibuka, karena air telah menyusut pula. Dalam
tambo dikatakan "Tatkalo bumi barambuang naiak, aia basintak turun".
Keturunan
Sri Maharaja Diraja dengan "Si Harimau Campa" yang bersumur ditumbuhi
agam berangkat ke dataran tinggi yang kemudian bernama "Luhak Agam"
(luhak = sumur). Disana mereka membuka tanah-tanah baru. Huma dan
teruka-teruka baru dikerjakan dengan sekuat tenaga. Bandar-bandar untuk
mengairi sawah-sawah dikerjakan dengan sebaik-baiknya.
Keturunan
"Kambing Hutan" membuka tanah-tanah baru pula di daerah-daerah Gunung
Sago, yang kemudian diberi nama "Luhak 50 Koto" (Payakumbuh) dari luhak
yang banyak ditumbuhi kumbuh.
Keturunan "Anjing yang Mualim" ke
Kubang Tigo Baleh (Solok), keturunan "Kucing Siam" ke Candung-Lasi dan
anak-anak raja beserta keturunannya dari si Anak Raja bermukim tetap di
Luhak Tanah Datar. Lalu mulailah pembangunan semesta membabat hutan
belukar, membuka tanah, mencencang melateh, meneruka, membuat ladang,
mendirikan teratak, membangun dusun, koto dan kampung.
3. Kedatangan Sang Sapurba
Tersebutlah
kisah seorang raja bernama Sang Sapurba. Di dalam tambo dikatakan
"Datanglah ruso dari Lauik". Kabarnya dia sangat kaya bergelar Raja
Natan Sang Sita Sangkala dari tanah Hindu. Dia mempunyai mahkota emas
yang berumbai-umbai dihiasai dengan mutiara, bertatahkan permata
berkilauan dan ratna mutu manikam.
Mula-mula ia datang dari
tanah Hindu. Ia mendarat di Bukit Siguntang Maha Meru dekat Palembang.
Disana dia jadi menantu raja Lebar Daun. Dari perkawinannya di Palembang
itu dia memperoleh empat orang anak, dua laki-laki yaitu Sang Nila
Utama, Sang Maniaka; dua perempuan yaitu Cendera Dewi dan Bilal Daun.
Pada
satu hari Sang Sapurba ingin hendak berlayar menduduki Sungai
Indragiri. Setelah lama berlayar, naiklah dia ke darat, akhirnya sampai
di Galundi Nan Baselo. Waktu itu yang berkuasa di Galundi Nan Baselo
ialah Suri Dirajo, seorang dari keturunan Sri Maharaja Diraja. Suri
Diraja tekenal dengan ilmunya yang tinggi, ia bertarak di gua Gunung
Merapi. Karena ilmunya yang tinggi dan pengetahuannya yang dalam, ia
jadi raja yang sangat dihormati dan disenangi oleh penduduk Galundi Nan
Baselo dan di segenap daerah. Ia juga bergelar Sri Maharaja Diraja,
gelar yang dijadikan gelar keturunan raja-raja Gunung Merapi.
Anak
negeri terheran-heran melihat kedatangan Sang Sapurba yang serba mewah
dan gagah. Orang banyak menggelarinya "Rusa Emas", karena mahkotanya
yang bercabang-cabang. Oleh karena kecerdikan Suri Dirajo, Sang Sapurba
dijadikan semenda, dikawinkan dengan adiknya bernama Indo Julito. Sang
Sapurba adalah seorang Hindu yang beragama Hindu. Dia menyembah berhala.
Lalu diadakan tempat beribadat di suatu tempat. Tempat ini sampai
sekarang masih bernama Pariangan (per-Hiyang-an = tempat menyembah
Hiyang / Dewa). Dan disitu juga terdapat sebuah candi buatan dari tanah
tempat orang-orang Hindu beribadat. Ada juga yang mengatakan tempat itu
adalah tempat beriang-riang.
4. Raja yang Hanya Sebagai Lambang
Sang
Sapurba lalu dirajakan dengan memangku gelar Sri Maharaja Diraja juga.
Tetapi yang memegang kendali kuasa pemerintahan tetap Suri Dirajo
sebagai orang tua, sedangkan sang sapurba hanya sebagai lambang.
Untuk
raja dengan permaisurinya dibuatkan istana "Balairung Panjang"
tempatnya juga memerintah. Istana ini konon kabarnya terbuat dari :
tonggaknya teras jelatang, perannya akar lundang, disana terdapat tabuh
dari batang pulut-pulut dan gendangnya dari batang seleguri, getangnya
jangat tuma, mempunyai cenang dan gung, tikar daun hilalang dsb.
Karena
Pariangan makin lama makin ramai juga Sang Sapurba pindah ke tempat
yang baru di Batu Gedang. Seorang hulubalang yang diperintahkan
melihat-lihat tanah-tanah baru membawa pedang yang panjang. Banyak orang
kampung yang mengikutinya. Mereka menuju ke arah sebelah kanan
Pariangan. Terdapatlah tanah yang baik, lalu dimulai menebang
kayu-kayuan dan membuka tanah-tanah baru. Selama bekerja hulubalang itu
menyandarkan pedang yang panjang itu pada sebuah batu yang besar. Banyak
sekali orang yang pindah ke tempat yang baru itu. Mereka berkampung
disitu, dan kampung baru tempat menyandarkan pedang yang panjang itu,
sampai sekarang masih bernama Padang Panjang.
Lama kelamaan
Padang Panjang itu jadi ramai sekali. Dengan demikian Pariangan dengan
Padang Panjang menjadi sebuah negeri, negeri pertama di seedaran Gunung
Merapi di seluruh Batang Bengkawas, yaitu negeri Pariangan Padang
Panjang. Untuk kelancaran pemerintahan perlu diangkat orang-orang yang
akan memerintah dibawah raja. Lalu bermufakatlah raja dengan orang-orang
cerdik pandai. Ditanam dua orang untuk Pariangan dan dua orang pula
untuk Padang Panjang. Masing-masing diberi pangkat "penghulu" dan
bergelar "Datuk". · Dt. Bandaro Kayo dan Dt. Seri Maharajo untuk
Pariangan · Dt. Maharajo Basa
dan Dt. Sutan Maharajo Basa untuk Padang Panjang. Orang-orang yang
berempat itulah yang mula-mula sekali dijadikan penghulu di daerah itu.
Untuk rapat dibuat Balai Adat. Itulah balai pertama yang asal sebelum
bernama Minangkabau di Pariangan.
5. Sikati Muno
Seorang
orang jahat yang datang dari negeri seberang tiba pula di daerah itu.
Karena tubuhnya yang besar dan tinggi bagai raksasa ia digelari orang
naga "Sikati Muno" yang keluar dari kawah Gunung Merapi.
Rakyat
sangat kepadanya dan didongengkan mereka, bahwa naga itu tubuhnya besar
dan panjangnya ada 60 depa dan kulitnya keras. Ia membawa bencana besar
yang tidak terperikan lagi oleh penduduk. Kerjanya merampok dan telah
merusak kampung-kampung dan dusun-dusun. Padi dan sawah diladang habis
dibinasakannya. Orang telah banyak yang dibunuhnya, laki-laki, perempuan
dan gadis-gadis dikorbankannya. Keempat penghulu dari Pariangan-padang
Panjang diutus Suri Drajo menghadap Sang Sapurba di Batu Gedang tentang
kekacauan yang ditimbuklan oleh Sikati Muno. Untuk menjaga prestisenya
sebagai seorang semenda, Sang Sapurba lalu pergi memerangi Sikati Muno.
Pertarungan hebat pun terjadi berhari-hari lamanya. Pedang Sang Sapurba
sumbing-sumbing sebanyak seratus sembilan puluh. Akhirnya naga Sikati
Muno itu mati dibunuh oleh Sang Sapurba dengan sebilah keris. Keris
tersebut dinamakan "Keris Sikati Muno", keris bertuah, tak diujung
pangkal mengena, jejak ditikam mati juga.
Sejak itu amanlah
negeri Pariangan-Padang Panjang, dan semakin lama semakin bertambah
ramai. Oleh sebab itu Sang Sapurba memerintahkan lagi mencari
tanah-tanah baru. Pada suatu hari raja sendiri pergi keluar,
melihat-lihat daerah yang baik dijadikan negeri. Dia berangkat
bersama-sama dengan pengiring-pengiringnya. Ia sampai pada suatu tempat
mata air yang jernih keluar dari bawah pohon tarab. Sang Sapurba
berpikir, tanah itu tentu akan subur sekali dan baik dijadikan negeri.
Lalu diperintahkannyalah membuka tanah-tanah baru ditempat itu. Sampai
sekarang tanah itu dinamakan Sungai Tarab. Kemudian hari jadi
termasyhur, tempat kedudukan "Pamuncak Koto Piliang" Dt. Bandaharo di
Sungai Tarab. Selain itu raja menemui pula setangkai kembang teratai di
daerah itu, kembang yang jadi pujaan bagi orang-orang Hindu. Raja
menyuruh mendirikan sebuah istana di tempat itu. Setelah istana itu siap
raja lalu pindah bertahta dari Pariangan-Padang Panjang ke tempat yang
baru itu, yang kemudian dinamakan negeri Bungo Satangkai, negeri yang
kedua sesudah Pariangan-Padang Panjang.
(Sumber : Minangkabau Tanah Pusaka - Tambo Minangkabau)
2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar